Perfeksi “Agama” dalam Surat Al-Maidah Ayat Tiga
Oleh : Dr KH Muchotob Hamzah MM,
Banyak fakta sebagian muslim di zaman ini yang melarang amalan-amalan yang tidak ada tautan langsung dengan Al-Qur’an dan sunnah. Amalan yang tidak langsung bertautan Al-Qur’an dan Sunnah pasti mereka tolak. Bahkan setiap amalan selalu ditanyakan, dalil spesifiknya mana? Alasan mereka karena Nabi saw. bersabda bahwa amalan yang tidak ada perintah (spesifik?) dari beliau, akan di tolak (Bukhari 2697; Muslim 1718). Amalan tersebut merupakan bid’ah dhalalah (Abu Dawud 4067).
Dengan pertanyaan ini, berarti umat Islam sangat sempit dan terbatas. Karena banyak peristiwa dan kebutuhan manusia di luar Al-Qur’an dan Sunnah yang butuh solusi. Misalnya orang mohon lulus ujian yang di zaman Nabi saw. tidak ada. Bolehkah orang tersebut berdoa dengan mengarang doa sendiri? Karena doa adalah ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT. secara generik (QS. 40: 60; Ibnu Majah, 3828 –Ad-du’aau huwal ‘ibaadatu. dll.). Apakah ada dalil spesifiknya jika mohon lulus ujian?
Menghadapi persoalan ini, ulama membagi ibadah dalam dua kategori. Yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Mayoritas ulama memasukkan ibadah dalam rukun Islam yang lima sebagai ibadah mahdhah. Mengarang-ngarang ibadah mahdhah baik dari segi landasan ideal, struktural maupun operasional adalah bid’ah dhalalah.
Sedang dalam ibadah ghairu mahdhah ada dua jenis. 1). Hal yang hubungannya dengan sosial, ekonomi, politik dan budaya, landasan ideal dan strukturalnya dari Allah dan landasan operasionalnya dari manusia sendiri. Contoh sistem politik sebuah Negara; 2). Dalam hubungan sains dan teknologi, landasan idealnya dari Allah, tetapi struktural dan operasionalnya “dari manusia sendiri.” Contohnya metode dan teknik meningkatkan produksi korma. Di sini berlaku hadis “Antum a’lamu bi umuuri dunyaakum” (Muslim 2363).
Dalil yang mereka pandang lebih kuat untuk menolak amalan baru adalah “Kesempurnaan Agama” –Al-yauma akmaltu lakum diinakum– (QS. 5: 3). Surat Al-Maidah ayat tiga ini oleh Allah SWT.diturunkan pada hari Jumat 9 Dzulhijjah tahun 10 H. di Arafah (At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, Syaikh Ali As-Shabuni, 2016: hlm. 14-15). Isinya tentang makanan yang haram dan kesempurnaan agama.
Mereka beralasan karena ayat itu dipandang ayat yang terakhir dan berposisi sempurnakan “agama”, maka tidak ada ibadah baru yang bisa ditoleransi. Padahal setelah ayat tsb.turun, Nabi saw. masih hidup 81 hari. Dari rentang waktu tsb. yang lebih sahih Nabi saw. masih menerima wahyu surat Al-Baqarah ayat 281 (As-Shabuni, ibid, 17), meski ayat itu bukan ayat hukum atau ibadah mahdhah.
Maka menurut Al-Faqier, ayat tiga Al- Maidah itu berarti Allah SWT.telah sempurnakan agama-Nya dalam arti menyempurnakan sistem ibadah mahdhah berupa haji dari rukun Islam yang lima itu.
Dalilnya: 1. Ayat tersebut turun di Arafah sebagai puncak ibadah haji dalam rukun Islam yang terakhir. 2. Kata “Dien” dalam Al-Qur’an memiliki arti ganda. Yaitu: a) dalam arti agama secara totalitas seperti ayat “Innaddiina ‘indallaahil Islaam”(QS. 3: 19; 2: 208). b) dalam arti cara, tujuan dan obyek ibadah (Al-Kafirun, 96: 6-7). 3. Kalau yang dimaksud Islam itu sempurna sebagai pokok-pokok ajaran yang paripurna dan utuh, adalah telah dinyatakan dalam Al-Qur’an 16: 89 “wa nazzalnaa ‘alaikal kitaaba tibyaanan likulli syai’in, QS. 6: 38, dan lainnya.”
Jadi, dalam hal ibadah mahdhah sampai kapanpun tidak ada rekonstruksi ataupun inovasi. Semua dari Allah SWT. baik landasan ideal, struktural maupun operasional. Pembaharuan dalam ibadah mahdhah, hukumnya bid’ah dhalalah dan otomatis tertolak.
Sementara dalam ibadah ghairu mahdhah, landasan ideal dan struktural dari Allah SWT., sementara soal operasional baik metode, teknik maupun managemennya terserah ijtihad manusia sendiri. Apalagi soal sains dan teknologi, hanya landasan ideallah yang mengikuti tuntunan dari Allah SWT. Untuk landasan struktural dan operasionalnya, “Antum a’lamu bi umuuri dunyaakum”. Wallaahu a’lam. (*)